Sudah hampir tiga minggu saya berada di tanah Kie Raha.
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat.
Teringat saat pagi buta di bandara internasional Soekarno-Hatta, ayah
dan adik saya mengantarkan keberangkatan saya sampai di depan pintu masuk
terminal 1A. Di tengah kepanikan akan terlambat naik pesawat karena mengurus
bagasi yang sangat banyak jumlahnya, saya sempatkan bertemu dengan Bening dan
Fadlin, dua sahabat saya yang memang berniat mengantarkan saya sampai ke
bandara. Pertemuan di depan metal detector dan salam perpisahan (sementara)
yang singkat pun mengawali keberangkatan saya ke Ternate.
Bersama ketujuh pengajar muda lainnya, kami berangkat
menggunakan pesawat Lion Air yang transit di Manado kemudian melanjutkan
perjalanan dengan pesawat Wings Air ke Ternate. Sampai di bandara Sultan
Baabullah Ternate, kami disambut tiga orang pengajar muda angkatan V, dan
tentunya Ibu saya. Ya, Ibu saya memang merencanakan tugas ke Soufifi ibukota
Maluku Utara padaminggu itu hanya untuk mengantarkan anak pertamanya ke negeri
“antah-berantah”. Rencana awalnya bahkan ayah saya akan mengantarkan sampai ke
desa, hal yang tentunya tidak diinginkan oleh Yayasan Indonesia Mengajar sebab
bias jadi mengganggu agenda transisi. Ibu saya bahkan juga sudah berencana
menjemput saya bersama rekan-rekannya dari Kementrian Agama provinsi. Ini juga
menjadi masalah yang pada saat sebelum berangkat ke bandara dikemukakan oleh
trustee dan camp manager saya. Beruntungnya, Ibu saya bisa mengerti walaupun
saya menyampaikan dengan nada yang agak tegas bahwa “I’ll be fine with them…”
Sambil menunggu keberangkatan kapal Aksar ke Labuha, kami
makan siang dan berjalan-jalan menjelajahi kota Ternate. Rumah makan yang
menunjukkan pemandangan laut dan pulau Maitara-Tidore di uang 1000, makan ikan
yang enak, masjid Al-Munawwar, benteng Bastiong dan laguna menjadi tempat
singgah kami sebelum akhirnya kami menginjakkan kaki di Mall Jatiland. Di sana
pula saya bertemu Ibu saya kembali. Setelah sempat menikmati quality time dengan beliau, saya baru
menyadari betapa “kasih ibu sepanjang hayat” dan saya bisa merasakan betapa
berat beliau melepas kepergian anaknya untuk mengabdi satu tahun di desa.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, saatnya kami beranjak
menuju kapal untuk siap-siap berangkat ke Labuha, ibukota kabupaten Halmahera
Selatan. Sudah masuk ke kapal, saya kira Ibu saya tidak jadi mengantar saya
sampai di kapal. Ternyata, ketika saya telepon beliau sudah berada di belakang
saya, ah… betapa lega hati ini, mengingat awalnya sempat agak khawatir beliau
tidak mengantarkan saya ke pelabuhan. Setelah berfoto dan memperkenalkan dengan
rekan-rekannya yang ada di provinsi maupun kabupaten, Ibu saya bias dengan lega
melepas keberangkatan saya.
Di dalam kapal, semua barang dimasukkan ke kamar, sementara
kami tidur di deck penumpang. Tempat
tidur atas bawah semacam barak yang luas. Kami menikmati makan malam di atas
kapal dengan semilir angin dan hidangan makan siang yang masih belum habis,
tanpa sendok (ah ya, seperti survival lagi rasanya). Setelah makan malam dan
berbagi cerita, sebagian dari kami yang nampak lelah akhirnya kembali ke deck dan tidur.
Komentar