SUARA MAHASISWA, Media dan MitigasiBencana PDF Print
Saturday, 19 March 2011
20“Belajar dari Jepang”.Frase tersebut semakin populer diucapkan setelah gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Jepang Jumat lalu. Bencana terdahsyat yang dialami setelah Perang Dunia II ini dihadapi dengan ketangguhan pemerintah dan masyarakat setempat hingga jumlah korban dapat ditekan seminimal mungkin.
Diperkirakan korban jiwa dari gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter serta tsunami setinggi 10 meter itu sekitar 10.000 jiwa. Bandingkan dengan Indonesia. Gempa bumi sebesar 9,1 Skala Richter dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh tahun 2004 lalu sampai menghabiskan korban sekitar 250.000 jiwa. Perbedaan yang signifikan,padahal bencananya kurang lebih sama.
Apa yang salah dengan Indonesia? Bagaimana perbedaan jumlah korban bisa begitu jauh, padahal kedua negara ini samasama dilalui sirkum Pasifik yang rawan gempa? Ternyata, kunci kesuksesan Jepang dalam tanggap bencana adalah keseriusan mereka dalam mitigasi bencana. Mitigasi bencana sendiri menurut UU No 24/2007 merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Ada tiga kata kunci pada definisi tersebut: mengurangi risiko bencana, pembangunan fisik, serta penyadaran dan peningkatan kemampuan untuk menghadapi bencana. Dari ketiga kata kunci di atas, media memiliki peran penting dalam upaya penyadaran dan peningkatan kemampuan untuk menghadapi bencana.Media massa,khususnya televisi,radio,dan koran,berperan sebagai aktor sentral untuk melakukan sosialisasi dan peningkatan kemampuan serta keterampilan dalam menghadapi bencana.
Dengan daya keterjangkauan yang sangat luas, mudah,dan murah,media massa seharusnya dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi,informasi,dan komunikasi bencana. Media massa di Jepang sepeti televisi nasional NHK memiliki tim khusus yang siap meliput saat terjadinya bencana. Sebelum bencana datang,media massa terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana menghadapi bencana. Pascabencana pun media massa di Jepang secara reguler melakukan update informasi terbaru dan menyiarkan instruksi yang diberikan pemerintah mengenai tanggap bencana.
Berbeda dengan media massa di Indonesia. Media massa di Indonesia jarang yang mengangkat informasi dan sosialisasi perihal tanggap bencana.Adapun jika media massa mengangkat berita tentang bencana cenderung didramatisasi alih-alih menyampaikan informasi mengenai penanggulangan bencana. Bahkan kadang unsur dramatisasi itu yang lebih kuat daripada unsur beritanya.
Mengingat betapa pentingnya peran media dalam mitigasi bencana,diperlukan adanya revitalisasi khusus bagi media untuk memaksimalkan penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat perihal tanggap bencana.Revitalisasi tersebut dapat berupa pemberian porsi khusus bagi tayangan,artikel atau siaran mengenai mitigasi bencana dan peliputan aktual penanganan bencana tanpa mendramatisasi atau melebih-lebihkan.
Oleh sebab itu, tekanan yang kuat dari masyarakat dan seluruh stakeholderdi negeri ini harus terus dilakukan sebagai upaya menyadarkan media khususnya untuk mengarusutamakan informasi mengenai mitigasi bencana. ●
AVINA NADHILA WIDARSA
Mahasiswa Hubungan Internasional,
Ketua Umum KSM Eka Prasetya
Univesitas Indonesia
Saturday, 19 March 2011
20“Belajar dari Jepang”.Frase tersebut semakin populer diucapkan setelah gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Jepang Jumat lalu. Bencana terdahsyat yang dialami setelah Perang Dunia II ini dihadapi dengan ketangguhan pemerintah dan masyarakat setempat hingga jumlah korban dapat ditekan seminimal mungkin.
Diperkirakan korban jiwa dari gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter serta tsunami setinggi 10 meter itu sekitar 10.000 jiwa. Bandingkan dengan Indonesia. Gempa bumi sebesar 9,1 Skala Richter dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh tahun 2004 lalu sampai menghabiskan korban sekitar 250.000 jiwa. Perbedaan yang signifikan,padahal bencananya kurang lebih sama.
Apa yang salah dengan Indonesia? Bagaimana perbedaan jumlah korban bisa begitu jauh, padahal kedua negara ini samasama dilalui sirkum Pasifik yang rawan gempa? Ternyata, kunci kesuksesan Jepang dalam tanggap bencana adalah keseriusan mereka dalam mitigasi bencana. Mitigasi bencana sendiri menurut UU No 24/2007 merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Ada tiga kata kunci pada definisi tersebut: mengurangi risiko bencana, pembangunan fisik, serta penyadaran dan peningkatan kemampuan untuk menghadapi bencana. Dari ketiga kata kunci di atas, media memiliki peran penting dalam upaya penyadaran dan peningkatan kemampuan untuk menghadapi bencana.Media massa,khususnya televisi,radio,dan koran,berperan sebagai aktor sentral untuk melakukan sosialisasi dan peningkatan kemampuan serta keterampilan dalam menghadapi bencana.
Dengan daya keterjangkauan yang sangat luas, mudah,dan murah,media massa seharusnya dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi,informasi,dan komunikasi bencana. Media massa di Jepang sepeti televisi nasional NHK memiliki tim khusus yang siap meliput saat terjadinya bencana. Sebelum bencana datang,media massa terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana menghadapi bencana. Pascabencana pun media massa di Jepang secara reguler melakukan update informasi terbaru dan menyiarkan instruksi yang diberikan pemerintah mengenai tanggap bencana.
Berbeda dengan media massa di Indonesia. Media massa di Indonesia jarang yang mengangkat informasi dan sosialisasi perihal tanggap bencana.Adapun jika media massa mengangkat berita tentang bencana cenderung didramatisasi alih-alih menyampaikan informasi mengenai penanggulangan bencana. Bahkan kadang unsur dramatisasi itu yang lebih kuat daripada unsur beritanya.
Mengingat betapa pentingnya peran media dalam mitigasi bencana,diperlukan adanya revitalisasi khusus bagi media untuk memaksimalkan penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat perihal tanggap bencana.Revitalisasi tersebut dapat berupa pemberian porsi khusus bagi tayangan,artikel atau siaran mengenai mitigasi bencana dan peliputan aktual penanganan bencana tanpa mendramatisasi atau melebih-lebihkan.
Oleh sebab itu, tekanan yang kuat dari masyarakat dan seluruh stakeholderdi negeri ini harus terus dilakukan sebagai upaya menyadarkan media khususnya untuk mengarusutamakan informasi mengenai mitigasi bencana. ●
AVINA NADHILA WIDARSA
Mahasiswa Hubungan Internasional,
Ketua Umum KSM Eka Prasetya
Univesitas Indonesia
Komentar